Tak pernah terpikirkan oleh Dwi Lestari (28) kalau acara piknik dengan pacarnya ke Cilacap, Jawa Tengah, ternyata berbuah manis. Di sana ia menyaksikan begitu banyak ikan pari. Di kepalanya langsung terlintas ide membuka usaha penyamakan kulit ikan pari untuk bahan baku kerajinan.
Ide membuka usaha ini lumrah bagi Dwi sebagai alumnus Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta. ”Waktu itu, saya berpikir kenapa kulitnya tidak disamak dan dimanfaatkan untuk bahan kerajinan,” tutur perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, itu di rumahnya di Dusun Dadapan, Timbulharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (2/7).
Pacarnya, Miftakhul Khoir, yang sekarang menjadi suaminya, juga sepikiran. ”Waktu itu kerajinan kulit hanya mengandalkan kulit sapi dan kulit kambing. Belum ada yang melirik kulit ikan pari,” ujarnya.
Menurut Dwi, dibandingkan kulit sapi dan kambing, mengolah kulit ikan pari jauh lebih sulit. Struktur butiran-butiran pada kulitnya membuat prosesnya lebih rumit.
Untuk mengolah kulit mentah ikan pari menjadi kulit kering setidaknya dibutuhkan waktu 15 hari. ”Namun, kulit ikan pari jauh lebih eksotik dan menarik karena terdapat butiran mutiara di bagian tengahnya,” ujar Dwi.
Meski prosesnya rumit, tahun 2002, Dwi memutuskan untuk menggeluti usaha penyamakan kulit ikan pari. Setelah lulus dari ATK tahun 2003, ia memperluas usahanya ke arah produksi berbahan baku kulit ikan pari.
Mulailah ia membuat dompet, ikan pinggang, dan tas. Dompet dijual seharga Rp 90.000-Rp 200.000 per unit, dan ikat pinggang Rp 150.000- Rp 450.000 per unit.
Sementara itu, harga tas sangat bergantung pada desainnya. Berkisar dari ukuran kecil Rp 250.000-Rp 300.000 per buah hingga Rp 500.000 per unit untuk ukuran besar. Dwi juga menerima pesanan pembuatan tas berbahan baku kulit ikan pari.
Jenis produknya terus bertambah dan saat ini sudah mulai merambah ke furnitur. Kulit ikan pari dipakai untuk melapisi mebel sehingga terlihat lebih cantik. Untuk produk terakhir ini, Dwi tengah berusaha menjalin kerja sama dengan kalangan pengusaha mebel.
Kini dalam sebulan omzet usaha Dwi bisa mencapai Rp 15 juta-Rp 20 juta dengan marjin sekitar 30-40 persen. Produknya dijual ke sejumlah kota, seperti Jakarta, Denpasar (Bali), dan Medan (Sumatera Utara). Bersama suaminya ia terus memasarkan produknya melalui pedagang-pedagang besar. Untuk memantapkan kegiatan promosi, ia tengah membangun ruang pamer sederhana di sebelah rumahnya di Bantul, DIY. ”Sebenarnya kami sudah memiliki stan di Pasar Seni Gabusan Bantul, tetapi karena jam operasinya pendek hasilnya kurang maksimal. Dengan showroom sendiri, harapannya, penjualannya bisa ditingkatkan,” katanya.
Meski awal perkenalannya dengan kulit ikan pari terjadi di Cilacap, Dwi sekarang beralih ke ikan pari daerah pesisir utara Jawa. Menurut dia, ikan pari Cilacap kulitnya agak lembek sehingga kurang bagus jika diolah menjadi produk kerajinan.
Empat jenis kulit
Ada empat jenis kulit ikan pari. Jenis gitar dibeli seharga Rp 10.000 untuk ukuran 13 cm, jenis oval untuk ukuran 13 cm Rp 8.000, jenis batu halus Rp 5.000-Rp 10.000 untuk ukuran 2,5 cm, dan jenis pari duri Rp 30.000 untuk ukuran 15 cm.
”Jenis duri memang paling mahal karena stoknya langka. Tekstur kulitnya juga lebih unik karena guratan duri di bagian tengahnya,” ujar Dwi.
Agar pasokan bahan kulit tidak tersendat, Dwi selalu membuat stok dalam jumlah besar, terutama pada saat kondisi air laut surut. Pada saat laut pasang, stok ikan pari biasanya menyusut. ”Stok itu lalu diawetkan dan bisa tahan selama satu bulan,” ujar perajin yang saat ini mempekerjakan sembilan tenaga kerja.
Proses produksi dimulai dengan membuat pola pada kulit ikan pari yang sudah kering, lalu memotongnya. Sebelum dijahit terlebih dahulu, kulit digerinda dulu untuk menghaluskan butiran-butiran yang melekat pada garis jahitan. Kalau tidak digerinda, proses penjahitan tidak bisa presisi, tak rapi. Untuk pewarnaan, ia memanfaatkan bahan cat mobil.
Keterampilan sebagai penyamak juga dimanfaatkan Dwi dengan membuka jasa penyamakan untuk kulit apa saja di rumahnya. Untuk jenis ular piton, misalnya, ia mematok tarif Rp 35.000 per meter, sedangkan ular sanca Rp 30.000 per ekor. ”Karakter kulit ular piton agak rumit,” ujarnya.
Meski segmen pasarnya lebih mengarah ke kalangan menengah ke atas, Dwi tetap yakin usahanya akan berkembang pesat. Salah satu kuncinya adalah kegigihan untuk terus berinovasi dan berpromosi.